Minggu, 29 April 2012

TINDAK PIDANA PENCURIAN


A.      PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat membuat banyak pergeseran dalam sistem sosial dalam masyarakat. Salah satunya perubahan ekonomi yang semakin memburuk akibat dampak dari krisis global yang melanda hampir di seluruh bagian dunia, tidak terkecuali di Negara Indonesia. Dengan tingginya tekanan ekonomi yang menuntut setiap orang untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Individu dalam melaksanakan usaha guna memenuhi kebutuhannya, individu harus melakukan interaksi diantara anggota masyarakat lainnya.
Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk sosial yang diciptakan oleh Allah Subbahana Wa Ta’ala (SWT) manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak pidana. Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya pembunuhan, perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan, pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN
1.      Istilah Tindak Pidana
Para pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan istilah “strafbaarfeit” untuk menyebutkan “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa maksud sebenarnya dari sitilah “strafbaarfeit” tersebut. Sehingga banyak menimbulkan pengertian mengenai “strafbaarfeit”. Menurut Adami Chazawi, “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara kita”(Adami Chazawi, 2002:67). Dalam hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai istilah tindak pidana, antara lain :
a.         Vos merumuskan bahwa suatu starfbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
b.         Moeljanto berpendapat “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
c.         Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tidak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berati ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan ”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.
d.         Sudarto dalam bukunya Hukum Pidana I (1990:38) mengemukakan perbedaan tentang istilah perbuatan jahat sebagai berikut :
1).       Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara konkret sebagaimana terwujud dalam masyarakat (Social Verschinjensel, Erecheinung, fenomena), ialah perbuatan manusia yang memperkosa atau menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto, ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.
2).      Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Untuk selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.
2.        Pengertian Tindak Pidana
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian tindak pidana, antara lain :
a.        Kami memberikan pendapat bahwa “delik” itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggung jawabkan”.
b.        Dalam website resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan definisi tindak pidana. Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian dari tindak pidana itu sendiri adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban atas segala tindakannya tersebut. Dimana tindakan atau perbuatan yang dilakukannya tersebut adalah perbutan yang melawan dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbuatan dapat diancam dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi individu yang melakukan perbuatan tersebut.
Menurut pandangan para ahli bahwa dalam terjadinya tindak pidana dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Terdapat dua pandangan yakni, aliran monistis dan dualistis. Walaupun meempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan UU selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah :
1).         Kelakuan manusia 
2).        Diancam dengan pidana
3).         Dalam peraturan perundang-undangan
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam UU, dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang dimuka telah dikemukakan, ialah Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a)        Perbuatan;
b)        Melawan hukum;
c)        Kesalahan;
d)        Dipertanggungjawabkan.
Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.1)        Kelakuan;
2.1)        Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
3.1)        Diancam dengan hukuman;
4.1)       Dilakukan oleh orang;
5.1)        Dipersalahkan / kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
3.      Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana dapat yaitu :
a.         Perbuatan (manusia);
b.         Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c.         Bersifat mealawan hukum (syarat materiil);
Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil juga harus ada, karena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercepainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljanto berpendapat, bahwa “kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat”.
Menurut Sudarto tentang unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno,  Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikutu pendirian Prof. Moeljatno, maka tidak cukup apabila sesorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.
Menurut D.Simons, unsur-unsur strarfbaarfeit adalah:
1).         Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2).         Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
3).         Melawan hukum (onrechmatig);
4).         Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);
5).         Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit. Unsur objektif antara lain :
a).         Perbuatan orang;
b).         Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c).         Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”
Unsur subjektif yaitu :
1.1).         Orang yang mampu bertanggung jawab;
2.10.         Adanya kesalahan (dolus atau culpa);
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat disebut sebagai syarat pemidanaa antara lain :
1.         Perbuatannya, syarat ;
a.         Memenuhi rumusan undang-undang ;
b.        Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
2.         Orangnya (kesalahannya), syarat :
a.         Mampu bertanggung jawab :
b.        Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertiaan ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :
1.         Perbuatan / rangkaian perbuatan (manusia);
2.         Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan;
3.         Diadakan tindakan penghukuman.

4.      Pengertian Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-.
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :
1.         Unsur-Unsur Objektif berupa :
a.         Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat”.
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. Mengambil adalah suatu tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna.
b.        Unsur benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil.
Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawandari benda bergerak.

c.         Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
2.         Unsur-Unsur Subjektif berupa :
a.         Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain.
Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
b.        Melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya.

C. IMPLEENTASI ASAS KEADILAN DALAM PENINDAKKAN TERHADAP ORANG YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PENCURIAN


Perkataan adil berasal dari bahasa Arab yang berarti Insyaf (keinsayafan, yang menurut jiwa baik dan lurus). Dalam bahasa Perancis perkataan adil diistilahkan dengan Juctice, sedangkan dalam bahasa Latin diistilahkan dengan Justica.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak berat sebelah (tidak memihak), pertimbangan yang adil (putusan tersebut dianggap adil), sepatutnya (tidak sewenang-wenang).
Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan adil atau keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila mengakui hak hidup, maka sebaliknya, harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan cara bekerja keras, serta kerja keras tersebut tidak menimbulkan efek buruk bagi orang lain.
Keadilan harus dikaitkan dengan hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :
a.         Mengembalikan hak-hak yang hilang pada yang berhak.
b.        Menumpas keaniayaan.
c.         Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu dan yang lainnya.
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Keadilan itu sendiri terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban asasi manusia.
Konsep dasar hukum pada intinya berbicara pada dua konteks persalan, yakni :
1.        Konteks yang petama adalah keadilan yang menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di tengah sekian banyakdinamika an problema kehidupan serta konflik di tengah masyarakat.
2.        Konteks yang kedua adalah aspek legalitas yang menyangkut dengan apa yang disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang dibuat leh suatu kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.
Dua konteks persoalan tersbut di atas seringkali terjadi benturan, di mana terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya akan rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkli tidak memiliki suatu kepastian hukum.
Dinilai tidak adanya rasa keadilan seperti halnya perlakuan tindakan terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian sandal, ayam, buah-buahan atau lain sebagainya dengan orang yang melakukan tindak pencurian korupsi yang kadarnya sudah berbeda jelas, sangat jauh berbeda, namun penindakan terhadap kedua orang yang melakukan tindak piadna tersebut sungguh sangat jauh dari nilai keadilan. Hal-hal yang dirasakan adil oleh masyarakat dan sudah mejadi asumsi masyarakat tenyata tidak berubah menjadi suatu aturan yang mempunyai kekuatan hukum.
Pandangan kekhususan terhadap suatu tindak pidana dalam budaya hukum disebabkan ketidakjamakan (temporarisasi) dari perilaku menyimpang beserta eskalasi akibat yang muncul -biasanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kelanjutan sistem sosial dan kenegaraan.
Kalau perilaku korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah, seperti maling ayam, penganiayaan, penjambretan, dan sejenisnya, tidak perlu korupsi itu dipandang sebagai tindak pidana khusus. Seloroh di masyarakat tentang hukuman terhadap maling ayam bisa lebih berat daripada koruptor tidak semata mencerminkan ketidakadilan hukuman. Tetapi, itu juga merefleksikan korupsi sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan sendi sosial dan kenegaraan. Sebagai Sistem Isu hukum kedua yang memerlukan klarifikasi ialah tentang konsistensi bahwa pengadilan adalah sebagai sistem yang mengemban tugas menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Idealnya, secara administratif telah terbagi kinerjanya, baik secara vertikal maupun horizontal. Vertikal artinya ada saluran untuk memprotes (banding) atas putusan yang dinilai tidak adil dan horizontal berarti ada pembagian kewenangan yang jelas (kompetensi) atas suatu tindak pidana.  
D. KESIMPULAN DAN SARAN

1.    Kesimpulan
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-.
Dengan rumusan terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Keadilan itu sendiri terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban asasi manusia. Namun asas keadilan belum sepenuhnya terimplementasikan dalam hukum positif di Indonesia.

2.     Saran
Diharapkan adanya perubahan atau pembentukan perauran perundang-undagan yang baru apabila peraturan perudang-undangan yang ada sudah dirasakan tidak terimplementasikan rasa keadilan.






DAFTAR PUSTAKA

Drs. P.A.F. Lamintang, SH. dan C. Djisman Samosir, SH. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.
Prof. Dr. H. Muchsin, SH. 2004. Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum. STIH IBLAM. Depok.
Moh. Mahfud MD. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
KUH Pidana
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.

1 komentar:

Heri Herdiana mengatakan...

Sukses Bu ....