A. PENDAHULUAN
Negara
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka setiap tindakan
yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai
dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum
tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara
Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam
pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin
pesat membuat banyak pergeseran dalam sistem sosial dalam masyarakat. Salah
satunya perubahan ekonomi yang semakin memburuk akibat dampak dari krisis
global yang melanda hampir di seluruh bagian dunia, tidak terkecuali di Negara
Indonesia. Dengan tingginya tekanan ekonomi yang menuntut setiap orang untuk
memenuhi setiap kebutuhannya. Individu dalam melaksanakan usaha guna memenuhi
kebutuhannya, individu harus melakukan interaksi diantara anggota masyarakat
lainnya.
Dalam
berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya
interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk
sosial yang diciptakan oleh Allah Subbahana Wa Ta’ala (SWT) manusia tidak akan
dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan
seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat
menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan
dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini
sering disebut dengan tindak pidana. Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2
(dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau
macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya pembunuhan,
perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan,
pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering
terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor.
B. TINJAUAN UMUM TENTANG
TINDAK PIDANA PENCURIAN
1. Istilah Tindak Pidana
Para pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan
istilah “strafbaarfeit” untuk menyebutkan “tindak pidana” di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa
maksud sebenarnya dari sitilah “strafbaarfeit” tersebut. Sehingga
banyak menimbulkan pengertian mengenai “strafbaarfeit”. Menurut Adami
Chazawi, “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan Negara kita”(Adami Chazawi, 2002:67). Dalam hampir seluruh
perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan
suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai
istilah tindak pidana, antara lain :
a.
Vos merumuskan bahwa suatu starfbaar
feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan.
b.
Moeljanto berpendapat
“perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut”.
c.
Menurut P.A.F. Lamintang,
pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit”
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tidak pidana” di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa
Belanda berati ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ”starfbaar ”
berati ”dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan ”starfbaar feit”
dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”
yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di
hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun
tindakan.
d.
Sudarto dalam bukunya Hukum
Pidana I (1990:38) mengemukakan perbedaan tentang istilah perbuatan jahat
sebagai berikut :
1).
Perbuatan jahat sebagai gejala
masyarakat dipandang secara konkret sebagaimana terwujud dalam masyarakat (Social
Verschinjensel, Erecheinung, fenomena), ialah perbuatan manusia
yang memperkosa atau menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam
konkreto, ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.
2).
Perbuatan jahat dalam arti
hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana
terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Untuk
selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah
perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.
2. Pengertian Tindak Pidana
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai
pengertian tindak pidana, antara lain :
a.
Kami memberikan pendapat bahwa
“delik” itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan
dengan salah dosa yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggung jawabkan”.
b.
Dalam website resmi Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan definisi tindak pidana. Tindak Pidana
memiliki pengertian perbuatan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan
dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa pengertian dari tindak pidana itu sendiri adalah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang tersebut dapat dimintai
pertanggung jawaban atas segala tindakannya tersebut. Dimana tindakan atau
perbuatan yang dilakukannya tersebut adalah perbutan yang melawan dan melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbuatan dapat diancam
dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi individu
yang melakukan perbuatan tersebut.
Menurut pandangan para ahli bahwa dalam terjadinya
tindak pidana dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Terdapat dua pandangan yakni, aliran monistis dan dualistis. Walaupun
meempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan UU selalu
diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal
syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya
pidana.
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat
ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah :
1).
Kelakuan manusia
2).
Diancam dengan pidana
3).
Dalam peraturan
perundang-undangan
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut
paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu
adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam UU, dan diancam pidana
bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si
pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham
monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang dimuka
telah dikemukakan, ialah Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut
paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a)
Perbuatan;
b)
Melawan hukum;
c)
Kesalahan;
d)
Dipertanggungjawabkan.
Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang
dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
1.1)
Kelakuan;
2.1)
Bertentangan dengan keinsyafan
hukum;
3.1)
Diancam dengan hukuman;
4.1)
Dilakukan oleh orang;
5.1)
Dipersalahkan / kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak
berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak memisahkan
antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri
orangnya.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana dapat yaitu :
a.
Perbuatan (manusia);
b.
Yang memenuhi rumusan dalam
undang-undang (syarat formil);
c.
Bersifat mealawan hukum (syarat
materiil);
Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas
yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil juga harus ada, karena
perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau
menghambat akan tercepainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat itu. Moeljanto berpendapat, bahwa “kesalahan dan kemampuan
bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana,
karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat”.
Menurut Sudarto tentang unsur tindak pidana yang
dikemukakan oleh Moeljatno, Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan
secara wajar, apabila diikutu pendirian Prof. Moeljatno, maka tidak cukup
apabila sesorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka; di samping itu
pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.
Menurut D.Simons, unsur-unsur strarfbaarfeit adalah:
1).
Perbuatan manusia (positif atau
negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
2).
Diancam dengan pidana (stratbaar
gesteld);
3).
Melawan hukum (onrechmatig);
4).
Dilakukan dengan kesalahan
(met schuld in verband stand);
5).
Oleh orang yang mampu
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur
subjektif dari strafbaarfeit. Unsur objektif antara lain :
a).
Perbuatan orang;
b).
Akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu;
c).
Mungkin ada keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”
Unsur subjektif yaitu :
1.1).
Orang yang mampu bertanggung
jawab;
2.10.
Adanya kesalahan (dolus atau
culpa);
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan
ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan
mana perbuatan itu dilakukan. Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat
disebut sebagai syarat pemidanaa antara lain :
1.
Perbuatannya, syarat ;
a.
Memenuhi rumusan undang-undang
;
b.
Bersifat melawan hukum (tidak
ada alasan pembenar).
2.
Orangnya (kesalahannya), syarat
:
a.
Mampu bertanggung jawab :
b.
Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang
melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka
pokok pengertiaan ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan
orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti
perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam
pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari
unsur-unsur, yakni :
1.
Perbuatan / rangkaian perbuatan
(manusia);
2.
Yang bertentangan dengan
Peraturan perundang-undangan;
3.
Diadakan tindakan penghukuman.
4. Pengertian Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata
“curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah,
biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara,
perbuatan.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta
unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian
dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu benda yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5
Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-.
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu
terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda,
dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian
ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud,
yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :
1.
Unsur-Unsur Objektif berupa :
a.
Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah
perbuatan “mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti
sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan
mengalihkannya ke lain tempat”.
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini
menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. Mengambil
adalah suatu tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan
gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan
kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya
lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya. Unsur
pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda
dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal
tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap
suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan
mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan
nyata adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya
juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang
sempurna.
b.
Unsur benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie
van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas
pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak,
baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan
menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan
bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil.
Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya
dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan
benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat
berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawandari benda bergerak.
c.
Unsur sebagian maupun
seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain,
cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri.
Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian
A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda
motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan
pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
2.
Unsur-Unsur Subjektif berupa :
a.
Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni
unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk),
berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur
itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain.
Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain
itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang
menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak
mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku,
dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang
melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya
(subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki
bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan
dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri
pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk
dijadikan sebagai miliknya.
b.
Melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak
pidana pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud
memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak
melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar
memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan
inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum
subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang
menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam
rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur
yang ada dibelakangnya.
C. IMPLEENTASI ASAS KEADILAN DALAM PENINDAKKAN TERHADAP
ORANG YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA PENCURIAN
Perkataan
adil berasal dari bahasa Arab yang berarti Insyaf
(keinsayafan, yang menurut jiwa baik dan lurus). Dalam bahasa Perancis
perkataan adil diistilahkan dengan Juctice,
sedangkan dalam bahasa Latin diistilahkan dengan Justica.
Dalam
kamus umum bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan tidak berat
sebelah (tidak memihak), pertimbangan yang adil (putusan tersebut dianggap
adil), sepatutnya (tidak sewenang-wenang).
Dari
uraian tersebut di atas dapat dikemukakan adil atau keadilan adalah pengakuan
dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila
mengakui hak hidup, maka sebaliknya, harus mempertahankan hak hidup tersebut
dengan cara bekerja keras, serta kerja keras tersebut tidak menimbulkan efek
buruk bagi orang lain.
Keadilan
harus dikaitkan dengan hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan
sebagai :
a.
Mengembalikan hak-hak
yang hilang pada yang berhak.
b.
Menumpas keaniayaan.
c.
Merealisasikan
persamaan terhadap hukum antara setiap individu dan yang lainnya.
Keadilan
merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri
dan juga kemanfaatan hukum. Keadilan itu sendiri terkait dengan pendistribusian
yang merata antara hak dan kewajiban asasi manusia.
Konsep
dasar hukum pada intinya berbicara pada dua konteks persalan, yakni :
1.
Konteks yang petama
adalah keadilan yang menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di
tengah sekian banyakdinamika an problema kehidupan serta konflik di tengah
masyarakat.
2.
Konteks yang kedua
adalah aspek legalitas yang menyangkut dengan apa yang disebut dengan hukum
positif yaitu sebuah aturan yang dibuat leh suatu kekuasaan negara yang sah dan
dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.
Dua
konteks persoalan tersbut di atas seringkali terjadi benturan, di mana
terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya akan rasa keadilan, dan
sebaliknya rasa keadilan seringkli tidak memiliki suatu kepastian hukum.
Dinilai
tidak adanya rasa keadilan seperti halnya perlakuan tindakan terhadap orang
yang melakukan suatu tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian sandal,
ayam, buah-buahan atau lain sebagainya dengan orang yang melakukan tindak
pencurian korupsi yang kadarnya sudah berbeda jelas, sangat jauh berbeda, namun
penindakan terhadap kedua orang yang melakukan tindak piadna tersebut sungguh
sangat jauh dari nilai keadilan. Hal-hal yang dirasakan adil oleh masyarakat
dan sudah mejadi asumsi masyarakat tenyata tidak berubah menjadi suatu aturan
yang mempunyai kekuatan hukum.
Hukum
positif di Indonesia sudah barang tentu tidak seluruhnya menjamin akan rasa
keadilan. Dalam wacana normatif, hukum itu sebagai refleksi dari
denyut kehidupan sosial masyarakat. Pasal-pasal dalam peraturan perundang
undangan pun mencerminkan hal yang sama, selain ingin mengarahkan agar
kehidupan ke depan lebih teratur dan tidak memunculkan konflik.
Pandangan
kekhususan terhadap suatu tindak pidana dalam budaya hukum disebabkan
ketidakjamakan (temporarisasi) dari perilaku menyimpang beserta eskalasi akibat
yang muncul -biasanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kelanjutan
sistem sosial dan kenegaraan.
Kalau
perilaku korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah, seperti maling ayam, penganiayaan,
penjambretan, dan sejenisnya, tidak perlu korupsi itu dipandang sebagai tindak
pidana khusus. Seloroh di masyarakat tentang hukuman terhadap maling ayam bisa
lebih berat daripada koruptor tidak semata mencerminkan ketidakadilan hukuman.
Tetapi, itu juga merefleksikan korupsi sudah tidak dipandang sebagai sesuatu
yang membahayakan sendi sosial dan kenegaraan. Sebagai Sistem Isu hukum kedua
yang memerlukan klarifikasi ialah tentang konsistensi bahwa pengadilan adalah
sebagai sistem yang mengemban tugas menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.
Idealnya, secara administratif telah terbagi kinerjanya, baik secara vertikal
maupun horizontal. Vertikal artinya ada saluran untuk memprotes (banding) atas
putusan yang dinilai tidak adil dan horizontal berarti ada pembagian kewenangan
yang jelas (kompetensi) atas suatu tindak pidana.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Pengertian pencurian menurut hukum
beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan
pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: barang siapa mengambil suatu
benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-.
Dengan rumusan terdiri dari unsur-unsur
objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang
melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik
orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk
memiliki, dan dengan melawan hukum).
Keadilan merupakan salah satu tujuan
dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum.
Keadilan itu sendiri terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan
kewajiban asasi manusia. Namun asas keadilan belum sepenuhnya
terimplementasikan dalam hukum positif di Indonesia.
2.
Saran
Diharapkan adanya perubahan atau
pembentukan perauran perundang-undagan yang baru apabila peraturan
perudang-undangan yang ada sudah dirasakan tidak terimplementasikan rasa
keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
P.A.F. Lamintang, SH. dan C. Djisman Samosir, SH. 1983. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.
Prof.
Dr. H. Muchsin, SH. 2004. Ikhtisar Materi
Pokok Filsafat Hukum. STIH IBLAM. Depok.
Moh.
Mahfud MD. 2009. Politik Hukum di
Indonesia. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
KUH
Pidana
UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.
1 komentar:
Sukses Bu ....
Posting Komentar