A. Pendahuluan
Fiqih atau islam merupakan salah
satu bidang studi islam yang paling di kenal masyarakat, hal ini antara lain
karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir
sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang
siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya,
siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai dia dimakamkan terkait dengan fiqih.
Karena sifat dan fungsinya itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu Al-hal
yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk
ilmu yang wajib di pelajari. Karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat
melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah Shalat, puasa,
haji, dan sebagainya.
Dengan fungsinya yagn demikian itu
tidak mengherankan jika Figih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada
anak-anak dari sejak di bangku taman kanak-kanak sampai dengan kuliah di
perguruan tinggi. Dari sejak kanak-kanak seseorang sudah mulai diajari berdoa,
berwudhu, shalat dan sebagainya dilanjutkan sampai tingkat dewasa di perguruan
tinggi. Para mahasisiwa mempelajari Fiqih secara lebih luas lagi, yaitu tidak
hanya menyangkut Fiqih ibadah, tetapi juga Fiqih Mualamat seperti jual beli,
perdagangan, sewa menyewa, gadai menggadai, dan perseroan, dilanjutkan dengan
Fiqih Jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah
tangga, perceraian dengan masalah perjanjian, perorangan, pemerintah dan
sebagainya.
Keadaan Fiqih yang demikian itu
nampak heran atau menyatu dengan misi agama Islam yang kehadirannya untuk
mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturan, dengan
Rasullah SAW. Sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut,
karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan mengetahui kehendak Tuhan secara
langsung terhenti semenjak meninggalnya nabi Muhammad.
Selanjutnya jika Ilmu hukum atau
Fiqih disebut idealities, itu bukan .dimaksud untuk mengatakan bahwa
materi-materi hukum itu sendiri tidak memiliki pertimbangan praktis yang
terkait dengan kebutuhan di masyarakat, juga bukan dimaksudkan bahwa praktik
hukum peradilan muslim tidak pernah sejalan dengan cita-cita di atas yang
hendak ditandaskan ialah bahwa filsafat hukum orang Isalam pada hakikatnya
adalah tidak lain pengembangan dan analisa terhadap hukum syari’ah yang
abstrak, bukan hukum positif yang berasal dan bersumber dari forum pengadilan.
Karena itu sifat yang demikian
menjadi cirri hukum islam dalam arti hukum yang mengatur kehidupan umat islam
adalah pembedaan antara ajaran lokal dan praktek faktual, antara syari’ah
seperti yang diajarkan ahli-ahli hukum klasik disatu pihak dan hukum positif
yang berlaku di pengadilan dipihak lain. Dan ini merupakan dasar yang baik buat
penelitian teoritis, suatu penelitian yang bergerak dalam ruang lingkup sejauh
mana praktek pengadilan sesuai atau penyimpangan dari norma-norma syari’ah.
Berdasarkan pengamatan terhadap
fungsi hukum islam atau fiqih tersebut, muncullah serangkaian penelitian dan
pengembangan hukum islam, yaitu penelitian yang igin melihat seberapah jauh
produk-produk hukum islam trersebut masih sejalan dengan tuntunan zaman, dan
bagaimana seharusnya hukum islam itu dikembangkan dalam rangka merespon dan
menjawab secara konkrit sebagai masalah yang timbul di masyarakat. Poenelitian
ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan hukum islam atau fiqih
tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat.
Sejalan dengan hal di atas, maka
akan di kemukaan tentang ruang lingkup hukum islam, sumber, asas-asas, dan
keberadan hukum islam di Indonesia.
B.
Pengertian
Hukum Islam
Pengertian
hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah, untuk itu
dalam pengertian hukum islam disini di maksudkan didalamnya dimaksudkan
pengertian syariat.
Dalam
kaitan ini di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum islam atau fiqih
adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an alsunnah. Bila ada nash dari
Al-qur’an atau Al-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau
yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau
alsunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqiti.
Dengan
demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan
manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.
C.
Ruang
Lingkup Hukum Islam
Selain
berbagai makna syariat yang berkonotasi hukum, syariat dalam arti luas juga
berarti segala hal yang ditetapkan oleh Allah. kepada mahluknya tentang
berbagai kaidah dan tata aturan yang disampaikan kepada umatnya melalui
nabi-nabinya termasuk Muhammad SAW baik yang berkaitan dengan hukum amaliyah
(fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika
(akhlaq).
Ungkapan
hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’
atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh
dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi,
karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan
hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang
tidak berdasarkan syara’.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut.
Berarti
ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam
definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah
Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari
wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang
hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi
ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia
lakukan terhadap dalil-dalil.
Hukum Islam yang tertuang dalam syari`at dapat dibagi atas tiga kelompok besar yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur keyakinan manusia terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan dengan manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh) yaitu hukum yang menata kehidupan manusia dengan manusia sehari-hari baik dalam fungsi vertikal (ibadah), pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah).
Hukum Islam yang tertuang dalam syari`at dapat dibagi atas tiga kelompok besar yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur keyakinan manusia terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan dengan manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh) yaitu hukum yang menata kehidupan manusia dengan manusia sehari-hari baik dalam fungsi vertikal (ibadah), pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah).
Karena
ketiga fungsi tersebut, hukum Amaliyah dibagi dalam dua kategori yaitu `Ibadat
(dimensi vertikal) dan Mu`amalat (dimensi Horizontal) yang terdiri atas Hukum
Keluarga (Family Law), Hukum ekonomi, finansial dan transaksi, Peradilan, Hukum
tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam, Hukum Antar Bangsa
(International Law), Hukum Tata Negara dan Politik (siyasah), Hukum tentang
Sumber-sumber Pendapatan Negara dan Hukum Pidana.
Hukum
yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh
dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal,
benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Secara garis besar kandungan dalam Ilmu Fiqh ada tiga macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh Fiqh Islam, karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun juga urusan akhirat. Fiqh juga merupakan agama dan negara. Fiqh Islam selalu relevan hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan Fiqh Islam dibagi menjadi tujuh kategori:
Secara garis besar kandungan dalam Ilmu Fiqh ada tiga macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh Fiqh Islam, karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun juga urusan akhirat. Fiqh juga merupakan agama dan negara. Fiqh Islam selalu relevan hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan Fiqh Islam dibagi menjadi tujuh kategori:
1.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti; shalat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat.
2.
Hukum-hukum yang
berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan
lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
3.
Hukum yang berhubungan
dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan lainnya, seperti;
jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut
Muamalah (perdata).
4.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik. Hukum-hukum
ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
5.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan
orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat (Pidana).
6.
Hukum-hukum yang
berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini
disebut Syi’ar (Diplomatik).
7.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia.
Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
D.
Sumber
Hukum Islam
Sumber-sumber
hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil-dalil syari’at yang
darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam
pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada
sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi
sumber hukum syari’at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1.
Sesuatu yang telah
disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan
al-Sunah.
2.
Sesuatu yang disepakati
mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3.
Sesuatu yang menjadi
perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab (pemberian
hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan
hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana
(syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Tentang
pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai
sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal
tersebut adalah hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak
sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah
syari’at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslahah mursalah.
Selanjutnya
mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena
penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i.
Sedangkan dalam istishhab tidak ada hujjah qath’I yg menetapkannya menjadi
dalil syara’. Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam
penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman
dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan
pernyatan ini, al-‘Amudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan
sadd al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai
bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun
mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum
melainkan hanya sekedar kaidah yang menjadi subordinat dari kaidah dasar
ma’alat al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah
subordinatnya semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan
kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg
disyari’atkan) dan yg lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan
mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah.
Pembagian
kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam
dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk
secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan
dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian
kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis)
yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah
mursalah,dan istishhab.
Wahbah
al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas.
Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya
merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan
dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak
dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila
merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila
meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena
adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki
criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki
bermacam-macam jenis.
Selanjutnya
ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil-dalil
ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu
al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana
istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber
hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang
dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya
tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak
mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus
lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam
al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan
pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan
ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak
mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan
sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi
istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
E.
Asas-asas
Hukum Islam
Asas
berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika
dihubungkan dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai
tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan
hukum.
1.
Asas-asas umum
a.
Asas keadilan
Dalam Surat Shad
(38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di
bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua
manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan
itu.
b.
Asas kepastian hukum
Artinya tidak
ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan
peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c.
Asas kemanfaatan
Asas ini
merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan
kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat.
2.
Asas
dalam lapangan hukum pidana
a.
Asas
legalitas
Artinya
tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya.
b.
Asas
larangan memindahkan kesalahan pada orang lainIni berarti bahwa tidak boleh
sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang
tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan
yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual
sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c. Asas praduga tak bersalah
Seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum
hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya
itu.
3.
Asas
dalam lapangan hukum perdata
a.
Asas
kebolehan (mubah)
asas
ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan
itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas
kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan
perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.
b.
Asas
kemaslahatan hidup
Asas
ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal
hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan
manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an
dan Sunnah.
c.
Asas
kebebasan dan kesukarelaan
Asas
ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas
dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan
dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.
d.
Asas
menolak mudharat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus
dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan
yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e.
Asas
kebajikan
Asas
ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan
kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam
masyarakat.
f.
Asas
kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas
hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati, kasih mengasihi
serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.
g.
Asas
adil dan berimbang
Asas
ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur
penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang
kesempitan.
h.
Asas
mendahulukan kewajiban dari hak
Para
pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut
hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi
atau ingkar janji.
i.
Asas
larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
j.
Asas
kemampuan berbuat atau bertindak
Pada
dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia
memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam
manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata
ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan
kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya
batal.
k.
Asas
kebebasan berusaha
Pada
dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi
dirinya sendiri dan keluarganya.
l.
Asas
mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
m. Asas perlindungan hak
Semua
hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila
hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang
dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian
pada pihak yang merugikannya.
n.
Asas
hak milik berfungsi sosial
Hak
milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja,
tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o.
Asas
yang beritikad baik harus dilindungi
Orang
yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko
perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata
tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam
hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut
sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.
p.
Asas
resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.
Jika
perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada
pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik
tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
q.
Asas
mengatur dan memberi petunjuk
Ketentuan
hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada
orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para
pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan
itu tidak bertentangan dengan hukum islam
r.
Asas
tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini
berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis
di hadapan saksi-saksi.
4.
Asas-asas
Hukum Perkawinan
a.
Kesukarelaan
Asas
kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana
tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari
semua pihak yang terkait.
b.
Persetujuan
kedua belah pihak
Artinya
tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c.
Kebebasan
memilih
d.
Kemitraan
suami isteri
Kemitraan
ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain
berbeda.
e.
Untuk
selama-lamanya
Perkawinan
itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta
kasih saying selam hidup.
f.
Monogami
terbuka
Dalam
Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan
beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
5.
Asas-asas
Hukum Kewarisan
a.
Asas
Ijbari
Peralihan
harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris.
b.
Bilateral
Artinya
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan
laki-laki dan perempuan.
c.
Asas
individual
Harta
warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan.
d.
Asas
keadilan berimbang
Harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga
antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e.
Asas
kewarisan akibat kematian
Peralihan
harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi
setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
F.
Latar
Belakang Keberadaan Hukum Islam Di Indonesia
Hukum
islam baru dikenal di indonesia setelah agama islam disebarkan ditanah air
kita. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai kapan islam datang ke
indonesia, namun dapat di nyatakan bahwa setelah islam datang di indonesia
hukum islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di
nusantara ini.hal itu dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada
masa itu mengenai hukum islam dan peranannya dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat.
Setelah
belanda menjajah nusantara ini, perkembangan hukum islam di indonesia
dikendalikannya, dan sesudah itu perkembangan hukum islam dihambat ditanah air
kita.
Hukum
islam dan hukum adat adalah hukum bagi orang indonesia asli dan mereka yang
disamakan dengan penduduk bumi putera, keadaan itu diatur oleh pemerintah
hindia belanda dahulu, sampai mereka meninggalkan indonesia.
Keberadaan
hukum islam pertama kali juga muncul karena ada persoalan-persoalan fiqih. Ada
kalanya fiqih ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya,
yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. Selain
itu, ada juga fiqh muamalah yang mengatur hubungan antara manusia dengan
sesamanya.seperti perikatan sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban
dan keadilan. Baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Di
Indonesia, hukum islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh
masyarakat islam. Meski didomonasi oleh fiqih syariah. Fiqih syariah lebih
banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh
madzhab Hanafi mulai diterima.penerimaan dan pelaksanaan hukum islam ini dapat
dilihat pada masa-masa kerajaan islam awal pada zaman kesultanan islam, hukum
islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum Negara. Hukum adat setempat
sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Kenyataan semacam ini diakui oleh
belanda ketika datang ke Indonesia.
G.
Teori
Tentang Keberadaan Dan Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia
1. Teori
Receptio in complex
Teori ini
dimunculkan oleh Van Den Berg, berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam diterima
(diresepsi) secara menyeluruh oleh umat islam.
2. Teori
Receptie
Teori ini
mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam adalah Hukum adat mereka
masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum
adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum islam.
3. Teori
Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Teori ini
mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
islam.
H.
Hukum
Islam Tidak Tertulis Dalam Dalam Peraturan Perundang Undangan
Hukum
islam dalam makna hukum fiqih islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan
dari hukum syariat islam yang terdapat dalam alquran dan sunnah nabi Muhammad,
dikembangkan melalui ijtihad oleh para ulama atau ahli hukum islam yang
memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-cara yang telah ditentukan. Hasil
ijtihad para ahli itu terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang begitu macam
banyaknya.
Walaupun
hukum islam ini tidak diberi padahan atau sanksi oleh penguasa, namun ia
dipatuhi oleh masyarakat islam, karena kesadaran dan keyakinan mereka, terutama
keyakinan para pemimpin atau ulama islam, bahwa hukum islam adalah hukum yanfg
benar. Kini,hukum islam seperti halnya hukum adat telah memperoleh bentuk tertulis
dalam kompilasi hukum islam.
I.
Perkembangan
Eksistensi Hukum Islam
Hukum
islam yang telah memperoleh tempat bahkan menjadi hukum resmi Negara dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi pada perkembangan berikutnya pemerintah
kolonial Belanda memangkas hukum islam itu sedikit demi sedikit, sehingga yang
tersisa sekarang , selain hukum ibadah, hanyalah sebagian saja yang masih
dilaksanakan.
Berikut
adalah fase-fase perkembangan hukum islam di Indonesia, (dua diantaranya adalah
fase sebelum kemerdekaan, dan dua lainnya adalah fase setalah kemerdekaan.
Fase
pertama. Fase berlakunya hukum islam dengan sepenuhnya.ini terjadi sejak masa
kerajaan-kerajaan islam sampai awal VOC . hal ini berangkat dari teori
H.A.R.Gibb bahwa jika orang telah menerima islam sebagai agamanya, maka ia
menerima authoritas hukum islam terhadap dirinya,atau disebut teori sami’na wa
atho’na.
Fase
kedua, fase berlakunya hukum islam setelah diterimanya oleh adat . fase ini
berpangkal pada teori receptio yang menginginkan agar jangan sampai orang-orang
indonesia memegang kuat hukum islam karena pada umumnya orang yang kuat
memegang hukum islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat.
Pada
perkembangan berikutnya, lahir teori a
Contrario sebagai kebalikan dari Receptio,
yaitu bahwa hukum adat baru dapat di berlakukan jika tidak bertentatangan
dengan hukum islam. Dengan teori ini, hukum islam menjadi memiliki ruang gerak
yang lebih leluasa.
Fase
ketiga, fase hukum islam bereksistensi sebagai sumber persuasive, yakni
diterima sebagai suatu sumber hukum setelah diyakini.
Fase keempat, hukum islam bereksistensi sebagai sumber otoritative, yakni diterima sebagai sumber yang memiliki kekuatan hukum.
Fase keempat, hukum islam bereksistensi sebagai sumber otoritative, yakni diterima sebagai sumber yang memiliki kekuatan hukum.
J. KESIMPULAN
Ruang
Lingkup Hukum Islam :
1. Hukum-hukum
yang berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti;
shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat.
2.
Hukum-hukum yang
berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan
lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
3.
Hukum yang berhubungan
dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan lainnya, seperti;
jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut
Muamalah (perdata).
4.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik. Hukum-hukum
ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
5.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan
orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat (Pidana).
6.
Hukum-hukum yang
berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini
disebut Syi’ar (Diplomatik).
7.
Hukum-hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia.
Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
Sumber
Hukum Islam :
1.
Sesuatu yang telah
disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan
al-Sunah.
2.
Sesuatu yang disepakati
mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3.
Sesuatu yang menjadi
perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab (pemberian
hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan
hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana
(syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Asas-asas
Hukum Islam :
1.
Asas-asas umum
2.
Asas
dalam lapangan hukum pidana
3.
Asas
dalam lapangan hukum perdata
4.
Asas-asas
Hukum Perkawinan
5.
Asas-asas
Hukum Kewarisan
Keberadaan
Hukum Islam di Indonesia :
Di Indonesia, hukum
islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat islam.
Meski didomonasi oleh fiqih syariah. Fiqih syariah lebih banyak dan dekat
kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafi mulai
diterima.penerimaan dan pelaksanaan hukum islam ini dapat dilihat pada
masa-masa kerajaan islam awal pada zaman kesultanan islam, hukum islam sudah
diberlakukan secara resmi sebagai hukum Negara. Hukum adat setempat sering
menyesuaikan diri dengan hukum islam. Kenyataan semacam ini diakui oleh belanda
ketika datang ke Indonesia.
Daftar Rujukan/ Pustaka
Abrasyi, A, 1974. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Cet.II.
Bulan Bintang. Jakarta.
Abdussomad, Muhyidin, 2004. Fikih
Tradisionalis (Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari). Pustaka
Bayan. Malang.
Daud Ali, Mohammad. 1990. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Rajagrafido Persada. Jakarta.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Hukum Islam. Pustaka Setia. Bandug.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar