Senin, 30 April 2012

HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A.      Pendahuluan
Fiqih atau islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling di kenal masyarakat, hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai dia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu Al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib di pelajari. Karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah Shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Dengan fungsinya yagn demikian itu tidak mengherankan jika Figih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak di bangku taman kanak-kanak sampai dengan kuliah di perguruan tinggi. Dari sejak kanak-kanak seseorang sudah mulai diajari berdoa, berwudhu, shalat dan sebagainya dilanjutkan sampai tingkat dewasa di perguruan tinggi. Para mahasisiwa mempelajari Fiqih secara lebih luas lagi, yaitu tidak hanya menyangkut Fiqih ibadah, tetapi juga Fiqih Mualamat seperti jual beli, perdagangan, sewa menyewa, gadai menggadai, dan perseroan, dilanjutkan dengan Fiqih Jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah tangga, perceraian dengan masalah perjanjian, perorangan, pemerintah dan sebagainya.
Keadaan Fiqih yang demikian itu nampak heran atau menyatu dengan misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturan, dengan Rasullah SAW. Sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut, karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan mengetahui kehendak Tuhan secara langsung terhenti semenjak meninggalnya nabi Muhammad.
Selanjutnya jika Ilmu hukum atau Fiqih disebut idealities, itu bukan .dimaksud untuk mengatakan bahwa materi-materi hukum itu sendiri tidak memiliki pertimbangan praktis yang terkait dengan kebutuhan di masyarakat, juga bukan dimaksudkan bahwa praktik hukum peradilan muslim tidak pernah sejalan dengan cita-cita di atas yang hendak ditandaskan ialah bahwa filsafat hukum orang Isalam pada hakikatnya adalah tidak lain pengembangan dan analisa terhadap hukum syari’ah yang abstrak, bukan hukum positif yang berasal dan bersumber dari forum pengadilan.
Karena itu sifat yang demikian menjadi cirri hukum islam dalam arti hukum yang mengatur kehidupan umat islam adalah pembedaan antara ajaran lokal dan praktek faktual, antara syari’ah seperti yang diajarkan ahli-ahli hukum klasik disatu pihak dan hukum positif yang berlaku di pengadilan dipihak lain. Dan ini merupakan dasar yang baik buat penelitian teoritis, suatu penelitian yang bergerak dalam ruang lingkup sejauh mana praktek pengadilan sesuai atau penyimpangan dari norma-norma syari’ah.
Berdasarkan pengamatan terhadap fungsi hukum islam atau fiqih tersebut, muncullah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum islam, yaitu penelitian yang igin melihat seberapah jauh produk-produk hukum islam trersebut masih sejalan dengan tuntunan zaman, dan bagaimana seharusnya hukum islam itu dikembangkan dalam rangka merespon dan menjawab secara konkrit sebagai masalah yang timbul di masyarakat. Poenelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan hukum islam atau fiqih tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat.
Sejalan dengan hal di atas, maka akan di kemukaan tentang ruang lingkup hukum islam, sumber, asas-asas, dan keberadan hukum islam di Indonesia.


B.      Pengertian Hukum Islam
Pengertian hukum islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah, untuk itu dalam pengertian hukum islam disini di maksudkan didalamnya dimaksudkan pengertian syariat.
Dalam kaitan ini di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an alsunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Al-sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau alsunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqiti.
Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.

C.       Ruang Lingkup Hukum Islam
Selain berbagai makna syariat yang berkonotasi hukum, syariat dalam arti luas juga berarti segala hal yang ditetapkan oleh Allah. kepada mahluknya tentang berbagai kaidah dan tata aturan yang disampaikan kepada umatnya melalui nabi-nabinya termasuk Muhammad SAW baik yang berkaitan dengan hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika (akhlaq).
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut.
Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Hukum Islam yang tertuang dalam syari`at dapat dibagi atas tiga kelompok besar yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur keyakinan manusia terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan dengan manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh) yaitu hukum yang menata kehidupan manusia dengan manusia sehari-hari baik dalam fungsi vertikal (ibadah), pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah).
Karena ketiga fungsi tersebut, hukum Amaliyah dibagi dalam dua kategori yaitu `Ibadat (dimensi vertikal) dan Mu`amalat (dimensi Horizontal) yang terdiri atas Hukum Keluarga (Family Law), Hukum ekonomi, finansial dan transaksi, Peradilan, Hukum tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam, Hukum Antar Bangsa (International Law), Hukum Tata Negara dan Politik (siyasah), Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan Negara dan Hukum Pidana.
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Secara garis besar kandungan dalam Ilmu Fiqh ada tiga macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh Fiqh Islam, karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun juga urusan akhirat. Fiqh juga merupakan agama dan negara. Fiqh Islam selalu relevan hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan Fiqh Islam dibagi menjadi tujuh kategori:
1.         Hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat.
2.         Hukum-hukum yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
3.         Hukum yang berhubungan dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan lainnya, seperti; jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut Muamalah (perdata).
4.         Hukum-hukum yang berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik. Hukum-hukum ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
5.         Hukum-hukum yang berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat (Pidana).
6.         Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini disebut Syi’ar (Diplomatik).
7.         Hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
D.      Sumber Hukum Islam
Sumber-sumber hukum islam (mashadir al-syari’at) adalah dalil-dalil syari’at yang darinya hukum syari’at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1.         Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.
2.         Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3.         Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab (pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana (syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Tentang pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal tersebut adalah hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak sesuai dengan apa yg ditunjukkannya. Diantaranya yang terpenting adalah syari’at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan maslahah mursalah.
Selanjutnya mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara’. Karena penetapan sesuatu sebagai dalil syara’ haruslah dengan hujjah yg qath’i. Sedangkan dalam istishhab tidak ada hujjah qath’I yg menetapkannya menjadi dalil syara’. Istishhab tak lebih hanyalah hukum syara’ sehingga dalam penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni. Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada dengan pernyatan ini, al-‘Amudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan sadd al-dzara’I (langkah antisipasi) al-‘Amudi tidak menganggapnya sebagai bagian dari dalil yang mu’tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun mauhumah (yang dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum melainkan hanya sekedar kaidah yang menjadi subordinat dari kaidah dasar ma’alat al-af’al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta kaidah-kaidah subordinatnya semisal sadd al-dzara’I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan kaidah mura’at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari’atkan) dan yg lain,sumbernya adalah bahwa syari’at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan menghindarkan mafsadah.
Pembagian kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk secara naql (dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah ijma’, madzhab sahabat,dan syar’u man qablana. Bagian kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg diruju’ secara ‘aql (penalaran logis) yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah istihsan,maslahah mursalah,dan istishhab.
Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas. Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan. Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur’an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah. Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis mujtahid disebut ijma’, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status hukumnya Karena adanya persamaan dalam ‘illatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-macam jenis.
Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil-dalil ini adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari’atan yaitu al-Qur’an, al-sunah,ijma’ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,’urf dan madzhab sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan, tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau maqis ‘alaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur’an,al-sunah,dan ijma’. Selain itu dalam penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang ‘illat dari hukum ashl. Sedangkan ijma’ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan sebagai legalitas dan keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
E.      Asas-asas Hukum Islam
Asas berasal dari bahasa Arab (Asasun) yang artinya dasar, basis, pondasi. Jika dihubungkan dengan hukum maka asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
1.         Asas-asas umum
a.         Asas keadilan
Dalam Surat Shad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khlaifah di bumi untuk menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang asal-usul, kedudukan, agama dari si pencari keadilan itu.
b.        Asas kepastian hukum
Artinya tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan-perundang-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.
c.         Asas kemanfaatan
Asas ini merupakan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum dimana dalam melaksanakan kedua asas tersebut seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat.
2.         Asas dalam lapangan hukum pidana
a.         Asas legalitas
Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
b.      Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lainIni berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa) seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Orang tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan atau kesalahan yang dilakukan orang lain. Karena pertangungjawaban pidana itu induvidual sifatnya maka tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
c.       Asas praduga tak bersalah
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
3.         Asas dalam lapangan hukum perdata
a.         Asas kebolehan (mubah)
asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan perdata sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh Qur’an dan Sunnah. Islam memberikan kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata (baru) sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat.
b.        Asas kemaslahatan hidup
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu mendatangkan kebaikan , berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan masyarakat kendatipun tidak ada ketentuannya dalam Qur’an dan Sunnah.
c.         Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak kedua belah pihak melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan.
d.        Asas menolak mudharat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan perdata yang mendatangkan kerugian dan mengembangkan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e.         Asas kebajikan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap hubungan perdata itu harus mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan fihak ketiga dalam masyarakat.
f.         Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas hubungan perdata yang disandarkan pada rasa hormat menghormati, kasih mengasihi serta tolong menolong dalam mencapai tujuan bersama.
g.        Asas adil dan berimbang
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan keperdataan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan.
h.      Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Para pihak harus mengutamakan penunaian kewajiban lebih dahulu dari pada menuntut hak. Asas ini merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
i.        Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdatanya itu.
j.        Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan hubungan itu. Dalam hukum islam manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata ialah mereka yang mukallaf, artinya mereka yang mampu memikul hak dan kewajiban. Penyimpangan terhadap asas ini menyebabkan hubungan perdatanya batal.
k.        Asas kebebasan berusaha
Pada dasarnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri dan keluarganya.
l.          Asas mendapatkan sesuatu karena usaha dan jasa
Usaha dan jasa disini haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor.
m.      Asas perlindungan hak
Semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, fihak yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.
n.        Asas hak milik berfungsi sosial
Hak milik tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o.        Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Orang yang melakukan perbuatan tertentu bertangung jawab atau menanggung resiko perbuatannya itu. Tetapi jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata itu kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan karena iktikad baiknya itu.
p.        Asas resiko dibebankan pada harta tidak pada pekerja.
Jika perusahaan merugi maka menurut asas ini kerugian itu hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
q.        Asas mengatur dan memberi petunjuk
Ketentuan hukum perdata ijbari, bersifat mengatur dan memberi petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak bisa memilih ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum islam
r.          Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi.
Ini berarti bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi.
4.         Asas-asas Hukum Perkawinan
a.         Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas yang terpenting dalam perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
b.        Persetujuan kedua belah pihak
Artinya tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
c.         Kebebasan memilih
d.        Kemitraan suami isteri
Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda.
e.         Untuk selama-lamanya
Perkawinan itu dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa cinta serta kasih saying selam hidup.
f.         Monogami terbuka
Dalam Surat an-Nisa ayat 129 dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
5.         Asas-asas Hukum Kewarisan
a.         Asas Ijbari
Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
b.        Bilateral
Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
c.         Asas individual
Harta warisan mesti dibagi kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
d.        Asas keadilan berimbang
Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya. Sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
e.         Asas kewarisan akibat kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.


F.      Latar Belakang Keberadaan Hukum Islam Di Indonesia
Hukum islam baru dikenal di indonesia setelah agama islam disebarkan ditanah air kita. Walaupun para ahli berbeda pendapat mengenai kapan islam datang ke indonesia, namun dapat di nyatakan bahwa setelah islam datang di indonesia hukum islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di nusantara ini.hal itu dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai hukum islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat.
Setelah belanda menjajah nusantara ini, perkembangan hukum islam di indonesia dikendalikannya, dan sesudah itu perkembangan hukum islam dihambat ditanah air kita.
Hukum islam dan hukum adat adalah hukum bagi orang indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumi putera, keadaan itu diatur oleh pemerintah hindia belanda dahulu, sampai mereka meninggalkan indonesia.
Keberadaan hukum islam pertama kali juga muncul karena ada persoalan-persoalan fiqih. Ada kalanya fiqih ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. Selain itu, ada juga fiqh muamalah yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya.seperti perikatan sanksi hukum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan. Baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Di Indonesia, hukum islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat islam. Meski didomonasi oleh fiqih syariah. Fiqih syariah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafi mulai diterima.penerimaan dan pelaksanaan hukum islam ini dapat dilihat pada masa-masa kerajaan islam awal pada zaman kesultanan islam, hukum islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum Negara. Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Kenyataan semacam ini diakui oleh belanda ketika datang ke Indonesia.
G.       Teori Tentang Keberadaan Dan Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia
1.      Teori Receptio in complex
Teori ini dimunculkan oleh Van Den Berg, berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam diterima (diresepsi) secara menyeluruh oleh umat islam.
2.      Teori Receptie
Teori ini mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam adalah Hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum islam.
3.      Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam.
H.      Hukum Islam Tidak Tertulis Dalam Dalam Peraturan Perundang Undangan
Hukum islam dalam makna hukum fiqih islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syariat islam yang terdapat dalam alquran dan sunnah nabi Muhammad, dikembangkan melalui ijtihad oleh para ulama atau ahli hukum islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-cara yang telah ditentukan. Hasil ijtihad para ahli itu terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang begitu macam banyaknya.
Walaupun hukum islam ini tidak diberi padahan atau sanksi oleh penguasa, namun ia dipatuhi oleh masyarakat islam, karena kesadaran dan keyakinan mereka, terutama keyakinan para pemimpin atau ulama islam, bahwa hukum islam adalah hukum yanfg benar. Kini,hukum islam seperti halnya hukum adat telah memperoleh bentuk tertulis dalam kompilasi hukum islam.
I.      Perkembangan Eksistensi Hukum Islam
Hukum islam yang telah memperoleh tempat bahkan menjadi hukum resmi Negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi pada perkembangan berikutnya pemerintah kolonial Belanda memangkas hukum islam itu sedikit demi sedikit, sehingga yang tersisa sekarang , selain hukum ibadah, hanyalah sebagian saja yang masih dilaksanakan.
Berikut adalah fase-fase perkembangan hukum islam di Indonesia, (dua diantaranya adalah fase sebelum kemerdekaan, dan dua lainnya adalah fase setalah kemerdekaan.
Fase pertama. Fase berlakunya hukum islam dengan sepenuhnya.ini terjadi sejak masa kerajaan-kerajaan islam sampai awal VOC . hal ini berangkat dari teori H.A.R.Gibb bahwa jika orang telah menerima islam sebagai agamanya, maka ia menerima authoritas hukum islam terhadap dirinya,atau disebut teori sami’na wa atho’na.
Fase kedua, fase berlakunya hukum islam setelah diterimanya oleh adat . fase ini berpangkal pada teori receptio yang menginginkan agar jangan sampai orang-orang indonesia memegang kuat hukum islam karena pada umumnya orang yang kuat memegang hukum islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat.
Pada perkembangan berikutnya, lahir teori a Contrario sebagai kebalikan dari Receptio, yaitu bahwa hukum adat baru dapat di berlakukan jika tidak bertentatangan dengan hukum islam. Dengan teori ini, hukum islam menjadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.
Fase ketiga, fase hukum islam bereksistensi sebagai sumber persuasive, yakni diterima sebagai suatu sumber hukum setelah diyakini.
Fase keempat, hukum islam bereksistensi sebagai sumber otoritative, yakni diterima sebagai sumber yang memiliki kekuatan hukum.


J. KESIMPULAN

Ruang Lingkup Hukum Islam :
1.      Hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat.
2.        Hukum-hukum yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
3.        Hukum yang berhubungan dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan lainnya, seperti; jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut Muamalah (perdata).
4.        Hukum-hukum yang berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik. Hukum-hukum ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
5.        Hukum-hukum yang berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat (Pidana).
6.        Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini disebut Syi’ar (Diplomatik).
7.        Hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
Sumber Hukum Islam :
1.        Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari’at, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah.
2.        Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari’at,yaitu ijma’ dan qiyas.
3.        Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi), istishhab (pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar’u man qablana (syari’at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Asas-asas Hukum Islam :
1.        Asas-asas umum
2.        Asas dalam lapangan hukum pidana
3.        Asas dalam lapangan hukum perdata
4.        Asas-asas Hukum Perkawinan
5.        Asas-asas Hukum Kewarisan
Keberadaan Hukum Islam di Indonesia :
Di Indonesia, hukum islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat islam. Meski didomonasi oleh fiqih syariah. Fiqih syariah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafi mulai diterima.penerimaan dan pelaksanaan hukum islam ini dapat dilihat pada masa-masa kerajaan islam awal pada zaman kesultanan islam, hukum islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum Negara. Hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum islam. Kenyataan semacam ini diakui oleh belanda ketika datang ke Indonesia.




Daftar Rujukan/ Pustaka

Abrasyi, A, 1974. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Cet.II. Bulan Bintang. Jakarta.
Abdussomad, Muhyidin, 2004. Fikih Tradisionalis (Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari). Pustaka Bayan. Malang.
Daud Ali, Mohammad. 1990. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajagrafido Persada. Jakarta.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Hukum Islam. Pustaka Setia. Bandug.


Tidak ada komentar: