A. Pendahuluan
Mengetahui
apa yang dimaksudkan oleh sebuah pernyataan tidaklah sama dengan mengetahui
apakah pernyataan tersebut benar atau tidak, bahkan mereka yang mengatakan
bahwasannya makna sama dengan keadaan dapat diverifikasi akan bersepakat, bahwa
untuk mengetahui akan syarat-syarat untuk menetapkan suatu pernyataan dapat
diverifikasi, tidaklah sama dengan mengetahui bahwa syarat-syarat itu telah
dipenuhi. Kita dapat mengetahui, bahwa pada dasarnya suatu kebenaran adalah masalah hubungan antara pengetahuan dan apa
yang menjadi obyek pengetahuan, yaitu apabila terjadi persesuaian dalam
hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu.[1]
F.B.
Bradley menyatakan bahwa, “Kebenaran
ialah kenyataan”,[2]
namun permasalahan sesungguhnya mengenai apa yang menjadi kriteria atau ukuran
suatu kebenaran itu sendiri bukanlah merupakan suatu hal yang mudah.
Menurut
Kattsoff, menyatakan bahwa :
“Ukuran
kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang diberikan kepada
kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Secara singkat dapat
digambarkan, bagi penganut skeptisisme menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada
satupun ukuran tentang kebenaran, sedangkan penganut dogmatisme berpendirian
sama gigihnya dengan menyatakan bahwa ukuran yang dipunyainya merupakan ukuran
yag dapat dipercaya secara mutlak. Penganut idealisme dan realisme lebih
menganut pendirian di tengah, artinya mereka berpandangan bahwa ukuran yang
mereka punyai (tentang kebenaran itu) meskipun tidak selalu merupakan ukuran
terakhir dan penutup, namun ukuran tersebut memberikan kesaksian yang dapat
dipercaya mengenai kemungkinan benar atau sesatnya suatu proposisi.”[3]
Manusia ingin mengetahui sesuatu dan
melalui suatu penelitian diharapkan dapat lahir suatu jawaban. Jawaban tersebut
mungkin saja dipertanyakan kembali dan akan melahirkan penggoyahan akademik
yang melahirkan jawaban sementara. Demikian
seterusnya berlangsung apa yang disebut
proses falsifikasi (falsification)
atau proses penyangkalan akan kebenaran sementara sampai ditemukannya kebenaran
baru yang dilihat dari segi nalarnya
lebih tangguh. Hal
ini dilakukan melalui proses pembuktian evidensi (evidence)
atas dasar dukungan fakta dan atau
pengujian empiris (empirical test).
Di samping itu juga manusia itu adalah
mahluk yang suka bertanya (man is an ever
asking animal). Sejak balita atau sejak mulai belajar bicara sampai dewasa
dan akhirnya menjadi tua, mereka
tidak pernah lepas
dari upaya untuk mengajukan
sejumlah pertanyaan. Lalu manusia itu pun suka membuat klasifikasi-klasifikasi
(man is a classifying animal) atas
segala sesuatu yang dihadapi dan
ditemuinya. Dan yang paling revolusioner adalah manusia itu adalah mahluk yang suka membangun
skenario (Peter Schwartz: “the
scenario-building animal”).[4]
Manusia pun menciptakan berbagai
perangkat/ piranti/ instrumen, mulai dari yang lunak sampai dengan yang keras,
oleh karenanya disebut “homo faber”
atau “tools making animal”. Salah
satu “tool” yang bersifat lunak dapat
disebut sebagai metodologi yang terdiri dari atau berisikan sejumlah metode atau cara dan prosedur yang
dibakukan.
Dalam memecahkan suatu masalah, kerja
seorang ilmuwan akan berbeda dengan seorang yang awam. Seorang ilmuwan selalu
menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan yang subyektif.
Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran
pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh
banyak orang.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu, jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat dari metode ilmiah. Karena ideal dari suatu ilmu
adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakata dengan
menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Oleh karena itu, penelitian dan
metode ilmiah memiliki hubungan yang sangat erat, jika tidak dikatakan sama.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut
dengan ilmu, karena ilmu adalah pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah dari suatu ilmu
pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk samapi kepada
kesatuan pengetahuan. Tanpa metode
ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu
himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari
hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.[5]
Karena masalah yang dihadapinya adalah
nyata, maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai
dengan suatu fakta dan diakhiri dengan suatu fakta pula.
B. Metode
Ilmiah
Penjelasan
yang rasional serta sesuai dengan obyek yang dijelaskanya, tetap harus didukung
dengan suatu fakta empiris agar dapat dinyatakkan penjelasan tersebut benar. Di
sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam
langkah-langkah yang disebut dengan metode ilmiah.
Secara
rasional, maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan komulatif,
sedangkan secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang secara empiris, ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak sesuai dengan
fakta. Dengan sederhana, maka hal ini bahwa untuk semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat umum, yaitu :
1.
Harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya suatu kontradiksi dalam teori
keilmuan secara keseluruhan.
2.
Harus cocok dengan fakta-fakta empiris,
sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung dengan
pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Dengan demikian logika ilmiah merupakan
gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan
empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
Sebelum teruji kebenarannya secara
empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat
sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut dengan hipotesis.
Sekiranya dalam menghadapi suatu masalah tertentu, dalam rangka memecahkan
masalah tersebut dapat mengajukan hipotesis yaitu merupakan jawaban sementara
bagi permasalahan yang sedang dihadapi.
Secara teoritis, maka sebenarnya dapat
mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang
bersifat pluralistik. Hanya saja, dari sekian hipotesis yang diajukan itu hanya
satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi, yakni
hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris. Dengan adanya jembatan
penyusunan hipotesis ini, maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logika-hipotetiko-verifikatif.
Tyndall menyatakan bahwa :
“Merupakan perkawinan yang
berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Proses induksi ini mulai memegang
peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis dimana dikumpulkan
fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis didukung oleh fakta
atau tidak. Demikian pula dalam proses deduksi, kegiatannya sebenarnya tidaklah
sama sekali terbatas dari proses induksi”.[6]
Alur berpikir yang tercakup dalam metode
ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan
tahapan-tahapan dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses logiko-hipotetiko-verifikatif
ini pada dasrnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Perumusan
masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empirik yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
b.
Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, berupa argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling
mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun
secara rasional berdasarkan premisa-premisa ilmiah yang telah teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan.
c.
Perumusan
hipotesis,merupakan jawaban sementara atau dugaan jawaban pertanyaan yang
materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d.
Pengujian
hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis
untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta pendukung hipotesis tersebut
atau tidak.
e.
Penarikan
kesimpulan, merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis, maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, apabila dalam
proses pengujian tidak dapat cukup fakta yang mendukung hipotesis, maka
hipotesis itu ditolak. Suatu hipotesis yang diterima, kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan,
yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelum atau sudah teruji kebenarannya.[7]
Keseluruhan langkah di atas harus
ditempuh agar suatu penelaahan disebut ilmiah. Walaupun langkah-langkah ini
secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu
merupakan suatu landasan bagi langkah-langkah berikutnya, namun dalam praktik
sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan langkah yang satu dengan langkah
yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan dinamis dengan proses
pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga
imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa lagkah yang satu bukan
merupakan suatu landasan bagi langkah berikutnya, namun sekaligus merupakan
landasan koreksi bagi langkah yang lain.
Dengan jalan ini, diharapkan juga
diproseskan pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan
yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
C.
Fungsi
Metodologi dalam Pengembangan Ilmu
Metodologi itu merupakan
ilmu yang berkenaan
dengan metode-metode. Metode
tersebut merupakan suatu cara atau jalan untuk
mendekati, menghampiri, mencari, meneliti, menemukan dan akhirnya
memahami sesuatu. Metodologi adalah ilmu
tentang cara mendekati
dan meneliti sesuatu dengan benar. Menurut para ahli, metodologi itu
dapat diibaratkan sebagai bahasa
universal (universal language) untuk
menghampiri, mendekati dan
meneliti sesuatu objek (melalui: approach, study, inquiry, probe,
survey, search, research), sehingga semua pakar dapat turut serta membahas
suatu: kajian, penelusuran, survei atau penelitian tersebut berdasarkan
norma-norma yang telah disepakati
bersama. Metodologi itu adalah
ilmu yang juga berkenaan dengan
cara atau metode
untuk: (1) menuliskan, memerikan
atau mendeskripsikan (Bld.: beschrijven),
(2) menerangkan (Bld.: verklaren) sebab akibat atau persebab kibatan
(causality; causation; Bld.: causaliteit), dan (3) melakukan evaluasi
(Bld.: waarderen) atas sesuatu fenomenon
atau sejumlah fenomena
dengan tepat dan benar.
Juga metodologi itu berkenaan
dengan alasan, landasan,
cara, langkah urutan logis (algorithm), prosedur dan proses serta
pendekatan yang kesemuanya dicakup
dalam satu istilah; yaitu : “metode-metode” dalam melakukan suatu penelitian (to conduct research).
D.
Metode
Kualitatif dan Kuantitatif dalam Metodologi
Metode
ilmiah dewasa ini mengakui eksistensi dan peranan metode kualitatif dan metode kuantitatif. Hakikat
dari metode kuantitatif pada prinsipnya
bertautan dengan sifat
hakikat substansi dari bidang
ilmu-ilmu alam yang berkenaan
dengan benda-benda fisik. Manusia dapat “memanipulasi” benda-benda fisis ini
(misalnya diisolasi atau direaksikan satu sama lain), karena benda-benda fisis
itu takbernyawa/takberjiwa dan karena itu pula tidak mempunyai keinginan
otonom.
Singkat
kata benda fisis itu dapat dikendalikan
atau “dimanipulasi” oleh manusia si
pelaku riset, misalnya air Oo
dipanaskan sampai 100o Celcius, mendidih.
Didinginkan pada 0o Celcius membeku. Semuanya berlangsung serba pasti, tidak ada penyimpangan atau
pembangkangan. Fenomena tersebut berlaku dimana pun dan kapan pun saja.
Hal
ini berbeda dengan objek ilmu-ilmu sosial yang terdiri dari manusia yang
mempunyai jiwa (soul; spirit);
keinginan (will) dan perilaku yang
dapat berubah-ubah (kaleidoscopic).
Manusia itu pada prinsipnya otonom, dan karenanya sikap dan perilakunya hampir tidak dapat
diprediksi secara penuh (oleh karenanya ilmu-ilmu sosial
dapat disebut pula
sebagai ilmu-ilmu perilaku
atau “behavioral sciences” atau menurut filsuf John Stuart
Mill (1806-1873) adalah
“moral sciences” dan di Jerman digunakan
istilah: “Geisteswissenschaften”
).[8]
Kerumitan
obyek ilmu-ilmu perilaku ini adalah berkenaan dengan manusia
itu hidup dengan
sesamanya yang juga mempunyai sikap dan perilaku yang
mungkin berbeda-beda pula. Pokoknya
terjadi interaksi total yang
super tak dapat diduga (super-unpredictable)
dan jumlah interaksi tersebut bisa bersifat “factorial” dalam arti mempunyai sangat banyak kemungkinannya.
Metode
kuantitatif mensyaratkan adanya “randomness”
yang berkonsekuensi dilakukannya
undian atau dengan menggunakan “tabel
random” dalam rangka
penarikan samplingnya. Penarikan ukuran sampel (sampling size) dilakukan berdasarkan penerapan rumus tertentu yang
melahirkan jumlah responden yang dapat
“mewakili” populasi. Populasi ini terlebih dahulu harus dijadikan “kerangka
sampling” (sampling frame);
yaitu setiap anggota
populasi harus terlebih dahulu mendapatkan nomor urut dari 1, 2, 3, ..., n.
Dengan demikian manakala kelak mereka
itu diundi secara acak, maka kesempatan untuk menjadi terpilih (probability)
sebagai anggota sampel (d.h.i. responden) akan sama besar.
Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah dengan demikian berarti bahwa waktu penelitian menurut metode
kuantitatif itu bisa dilakukan dengan cepat, manakala objek penelitiannya
adalah manusia? Manusia yang “mobile”
atau dinamis dan manusia yang tersebar di sana sini? Itulah problemanya yang
jarang diutarakan dalam mencoba menimbang untung rugi dari penerapan metode
kuantitatif dan kualitatif itu.
Hasil
berpikir dengan keras dan intens serta mengerahkan segenap potensinya, manusia
telah menghasilkan berbagai temuan (discovery
and invention). Pengerahan
pancaindera bahkan pancaindera plus tersebut,
sebagian mewujud dan mengkristal dalam temuan yang memperkaya teori dan
ilmu.
Kendati
manusia itu berupaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan metode yang tepat, namun sebagian
masalah akan tetap takterjawab, tetap
takterjangkau, tetap takdiketahui, tetap takterungkap. Artinya sebagian besar
bahkan tetap tinggal sebagai misteri (left
unknown), takberjawab, takbisa terjawab
dan sangat tidak mungkin untuk mendapat jawaban, taktergapai dan tidak diperoleh
jawaban, tidak memperoleh jawaban, tidak akan ada jawaban yang pasti dan
benar-benar tuntas. Semuanya diserahkan
kepada pemilik ilmu, yaitu Al Khaaliq.
Secara bahasa daerahnya, dia tetap “gramyang”, tetap berada dalam wilayah kelabu atau
samar-samar (vague).
E. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1.
Metode Ilmiah, penggabungan antara
pendekatan rasional dan pendekatan empiris melalui langkah-langkah yang disebut
metode ilmiah. Memiliki dua syarat, yaitu : (1) Harus konsisten dengan
teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya suatu kontradiksi
dalam teori keilmuan secara keseluruhan. (2) Harus cocok dengan fakta-fakta
empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung dengan
pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-verifikatif
pada dasrnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut : (a) Perumusan
masalah, (b) Penyusunan kerangka berpikir, (c) Perumusan hipotesis, (d)
Pengujian hipotesis, (e) Penarikan kesimpulan.
2.
Metodologi merupakan suatu cara atau
jalan untuk mendekati, menghampiri, mencari, meneliti, menemukan dan akhirnya
memahami sesuatu. Metodologi adalah ilmu
tentang cara mendekati dan meneliti sesuatu dengan benar.
Menurut para ahli, metodologi itu dapat
diibaratkan sebagai bahasa universal (universal language) untuk menghampiri, mendekati dan meneliti
sesuatu objek (melalui: approach, study, inquiry, probe, survey, search, research),
sehingga semua pakar dapat turut serta membahas suatu: kajian, penelusuran, survei
atau penelitian tersebut berdasarkan norma-norma yang telah disepakati bersama.
3. Hakikat
dari metode kuantitatif pada prinsipnya
bertautan dengan sifat
hakikat substansi dari bidang
ilmu-ilmu alam yang berkenaan
dengan benda-benda fisik. Manusia dapat “memanipulasi” benda-benda fisis ini
(misalnya diisolasi atau direaksikan satu sama lain), karena benda-benda fisis
itu takbernyawa/takberjiwa dan karena itu pula tidak mempunyai keinginan
otonom. Hal ini berbeda dengan metode
kualitatif yang objeknya ilmu-ilmu
sosial yang terdiri dari manusia yang mempunyai jiwa (soul; spirit); keinginan (will)
dan perilaku yang dapat berubah-ubah (kaleidoscopic).
Manusia itu pada prinsipnya otonom, dan karenanya sikap dan perilakunya hampir tidak dapat diprediksi
secara penuh (oleh karenanya ilmu-ilmu
sosial dapat disebut
pula sebagai ilmu-ilmu
perilaku atau “behavioral
sciences” atau menurut filsuf John Stuart Mill (1806-1873)
adalah “moral sciences” dan di
Jerman digunakan istilah: “Geisteswissenschaften”
).
Daftar Rujukan/
Pustaka
Anonim.
Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka,
Jakarta, 1985
Bambang
Sugono. Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Koentjaraningrat.
Pengantar Antropologi, Aksara Baru,
Jakarta, 1974
Lois
O. Kattsoff. Pengantar Filsafat,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989
Rusadi
Kantaprawira. Filsafat dan Penelitian
Ilmu-ilmu Sosial, AIPI, Bandung, 2009
Sidi
Ghazalba. Sistematika Filsafat Buku II,
Bulan Bintang, Jakarta,1981
Toety
Herati Noerhadi, “Analisa dan Pemahaman
dalam Metodologi Ilmu-ilmu Sosial” dalam A.E. Priyono dan Asmar Oemar Saleh
(Eds.), Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, dengan Kata
Pengantar M. Amien Rais, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat (PLP2M), Yogyakarta, 1984
[1]
Sidi
Ghazalba. Sistematika Filsafat Buku II,
Bulan Bintang, Jakarta,1981, hlm 177
[2] Lois O.
Kattsoff. Pengantar Filsafat, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1989, hlm 178
[3] Ibid, hlm 180
[4] Peter Schwartz, The Art of the Long View: Scenario Planning
Protecting your Company Against an Uncertain Future, Century Business,
London, 1991, pp. 31-46
[5]
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi,
Aksara Baru, Jakarta, 1974, hlm 37
[6]
Anonim. Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka,
Jakarta, 1985, hlm 1
[7]
Ibid, hlm 29
[8] Toety Herati
Noerhadi, “Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi
Ilmu-ilmu Sosial” dalam A.E. Priyono dan Asmar Oemar Saleh (Eds.), Krisis
Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, dengan Kata Pengantar M.
Amien Rais, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), Yogyakarta, 1984, hlm 53
1 komentar:
The casino offers 100% Deposit Bonus up to $150
If you deposit $10 or more into your account, you 충청북도 출장마사지 can receive a 강릉 출장마사지 100% deposit 울산광역 출장마사지 bonus up to $150. The $150 bonus 포항 출장샵 is a promotion that includes free spins. 안성 출장안마
Posting Komentar