Senin, 30 April 2012

METODOLOGI DALAM PENGEMBANGAN ILMU


 
A.      Pendahuluan
Mengetahui apa yang dimaksudkan oleh sebuah pernyataan tidaklah sama dengan mengetahui apakah pernyataan tersebut benar atau tidak, bahkan mereka yang mengatakan bahwasannya makna sama dengan keadaan dapat diverifikasi akan bersepakat, bahwa untuk mengetahui akan syarat-syarat untuk menetapkan suatu pernyataan dapat diverifikasi, tidaklah sama dengan mengetahui bahwa syarat-syarat itu telah dipenuhi. Kita dapat mengetahui, bahwa pada dasarnya suatu kebenaran adalah masalah hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi obyek pengetahuan, yaitu apabila terjadi persesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu.[1]
F.B. Bradley menyatakan bahwa, “Kebenaran ialah kenyataan”,[2] namun permasalahan sesungguhnya mengenai apa yang menjadi kriteria atau ukuran suatu kebenaran itu sendiri bukanlah merupakan suatu hal yang mudah.
Menurut Kattsoff, menyatakan bahwa :
Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Secara singkat dapat digambarkan, bagi penganut skeptisisme menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada satupun ukuran tentang kebenaran, sedangkan penganut dogmatisme berpendirian sama gigihnya dengan menyatakan bahwa ukuran yang dipunyainya merupakan ukuran yag dapat dipercaya secara mutlak. Penganut idealisme dan realisme lebih menganut pendirian di tengah, artinya mereka berpandangan bahwa ukuran yang mereka punyai (tentang kebenaran itu) meskipun tidak selalu merupakan ukuran terakhir dan penutup, namun ukuran tersebut memberikan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai kemungkinan benar atau sesatnya suatu proposisi.”[3]
Manusia ingin mengetahui sesuatu dan melalui suatu penelitian diharapkan dapat lahir suatu jawaban. Jawaban tersebut mungkin saja dipertanyakan kembali dan akan melahirkan penggoyahan akademik yang  melahirkan jawaban sementara. Demikian seterusnya berlangsung apa yang  disebut proses falsifikasi (falsification) atau proses penyangkalan akan kebenaran sementara sampai ditemukannya kebenaran baru yang dilihat dari segi  nalarnya lebih  tangguh.  Hal  ini  dilakukan melalui  proses pembuktian  evidensi (evidence) atas dasar dukungan  fakta dan atau pengujian empiris  (empirical  test).
Di samping itu juga manusia itu adalah mahluk yang suka bertanya (man is an ever asking animal). Sejak balita atau sejak mulai belajar bicara sampai dewasa dan akhirnya menjadi  tua, mereka tidak  pernah  lepas  dari  upaya untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. Lalu manusia itu pun suka membuat klasifikasi-klasifikasi (man is a classifying animal) atas segala  sesuatu yang dihadapi dan ditemuinya. Dan yang paling revolusioner adalah manusia  itu adalah mahluk yang suka membangun skenario (Peter Schwartz: “the scenario-building animal”).[4]
Manusia pun menciptakan berbagai perangkat/ piranti/ instrumen, mulai dari yang lunak sampai dengan yang keras, oleh karenanya disebut “homo faber” atau “tools making animal”. Salah satu “tool” yang bersifat lunak dapat disebut sebagai metodologi yang terdiri dari atau berisikan  sejumlah metode atau cara dan prosedur yang dibakukan.
Dalam memecahkan suatu masalah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan seorang yang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan yang subyektif. Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh banyak orang.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu, jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat dari metode ilmiah. Karena ideal dari suatu ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakata dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Oleh karena itu, penelitian dan metode ilmiah memiliki hubungan yang sangat erat, jika tidak dikatakan sama.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut dengan ilmu, karena ilmu adalah pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk samapi kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.[5]
Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata, maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan suatu fakta dan diakhiri dengan suatu fakta pula.

B. Metode Ilmiah
Penjelasan yang rasional serta sesuai dengan obyek yang dijelaskanya, tetap harus didukung dengan suatu fakta empiris agar dapat dinyatakkan penjelasan tersebut benar. Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut dengan metode ilmiah.
Secara rasional, maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan komulatif, sedangkan secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak sesuai dengan fakta. Dengan sederhana, maka hal ini bahwa untuk semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat umum, yaitu :
1.         Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya suatu kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan.
2.         Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung dengan pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Dengan demikian logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
Sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut dengan hipotesis. Sekiranya dalam menghadapi suatu masalah tertentu, dalam rangka memecahkan masalah tersebut dapat mengajukan hipotesis yaitu merupakan jawaban sementara bagi permasalahan yang sedang dihadapi.
Secara teoritis, maka sebenarnya dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya saja, dari sekian hipotesis yang diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi, yakni hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris. Dengan adanya jembatan penyusunan hipotesis ini, maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logika-hipotetiko-verifikatif.
Tyndall menyatakan bahwa :
“Merupakan perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Proses induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis dimana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak. Demikian pula dalam proses deduksi, kegiatannya sebenarnya tidaklah sama sekali terbatas dari proses induksi”.[6]
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahapan-tahapan dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-verifikatif ini pada dasrnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
a.      Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empirik yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b.      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, berupa argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premisa-premisa ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c.       Perumusan hipotesis,merupakan jawaban sementara atau dugaan jawaban pertanyaan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
d.      Pengujian hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta pendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e.       Penarikan kesimpulan, merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis, maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak dapat cukup fakta yang mendukung hipotesis, maka hipotesis itu ditolak. Suatu hipotesis yang diterima, kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan, yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelum atau sudah teruji kebenarannya.[7]
Keseluruhan langkah di atas harus ditempuh agar suatu penelaahan disebut ilmiah. Walaupun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu merupakan suatu landasan bagi langkah-langkah berikutnya, namun dalam praktik sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa lagkah yang satu bukan merupakan suatu landasan bagi langkah berikutnya, namun sekaligus merupakan landasan koreksi bagi langkah yang lain.
Dengan jalan ini, diharapkan juga diproseskan pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya  serta teruji kebenarannya secara empiris.
C.       Fungsi Metodologi dalam Pengembangan Ilmu
Metodologi  itu merupakan  ilmu  yang  berkenaan  dengan metode-metode.  Metode tersebut merupakan suatu cara atau jalan untuk  mendekati, menghampiri, mencari, meneliti, menemukan dan akhirnya memahami sesuatu. Metodologi  adalah  ilmu  tentang  cara  mendekati  dan meneliti sesuatu dengan benar. Menurut para ahli, metodologi itu dapat  diibaratkan sebagai bahasa universal (universal language) untuk menghampiri,  mendekati  dan  meneliti  sesuatu  objek (melalui: approach, study, inquiry,  probe, survey, search, research), sehingga semua pakar dapat turut serta membahas suatu: kajian, penelusuran, survei atau penelitian tersebut berdasarkan norma-norma yang  telah disepakati bersama. Metodologi  itu  adalah  ilmu yang  juga berkenaan dengan cara  atau  metode  untuk: (1)  menuliskan, memerikan atau mendeskripsikan (Bld.: beschrijven), (2)  menerangkan (Bld.: verklaren) sebab akibat atau persebab kibatan (causality; causation; Bld.: causaliteit), dan (3) melakukan evaluasi (Bld.: waarderen) atas sesuatu  fenomenon  atau  sejumlah  fenomena  dengan  tepat  dan benar.  Juga metodologi  itu  berkenaan  dengan  alasan, landasan, cara,  langkah urutan logis (algorithm), prosedur dan proses serta pendekatan   yang kesemuanya dicakup dalam satu istilah; yaitu : “metode-metode” dalam melakukan suatu penelitian (to conduct research).

D.      Metode Kualitatif dan Kuantitatif dalam Metodologi
Metode ilmiah dewasa ini mengakui eksistensi dan peranan metode  kualitatif dan metode kuantitatif. Hakikat dari metode kuantitatif  pada  prinsipnya  bertautan  dengan  sifat  hakikat substansi  dari  bidang  ilmu-ilmu  alam yang berkenaan dengan benda-benda fisik. Manusia dapat “memanipulasi” benda-benda fisis ini (misalnya diisolasi atau direaksikan satu sama lain), karena benda-benda fisis itu takbernyawa/takberjiwa dan karena itu pula tidak mempunyai keinginan otonom.
Singkat kata benda fisis itu dapat  dikendalikan atau “dimanipulasi”  oleh manusia si pelaku riset, misalnya  air Oo dipanaskan sampai 100o Celcius, mendidih. Didinginkan pada 0o Celcius membeku. Semuanya berlangsung  serba pasti, tidak ada penyimpangan atau pembangkangan. Fenomena tersebut berlaku dimana pun dan kapan pun saja.
Hal ini berbeda dengan objek ilmu-ilmu sosial yang terdiri dari manusia yang mempunyai jiwa (soul; spirit); keinginan (will) dan perilaku yang dapat berubah-ubah (kaleidoscopic). Manusia itu pada prinsipnya otonom, dan karenanya  sikap dan perilakunya hampir tidak dapat diprediksi secara penuh (oleh karenanya ilmu-ilmu  sosial  dapat  disebut  pula  sebagai  ilmu-ilmu  perilaku  atau “behavioral  sciences” atau menurut filsuf John Stuart Mill  (1806-1873)  adalah  “moral  sciences” dan di Jerman  digunakan  istilah: “Geisteswissenschaften” ).[8]
Kerumitan obyek ilmu-ilmu perilaku ini adalah berkenaan dengan  manusia  itu  hidup  dengan  sesamanya  yang  juga mempunyai sikap dan perilaku yang mungkin berbeda-beda pula. Pokoknya  terjadi  interaksi total yang super tak dapat diduga (super-unpredictable) dan jumlah interaksi tersebut bisa bersifat “factorial” dalam arti mempunyai sangat banyak kemungkinannya.
Metode kuantitatif mensyaratkan adanya “randomness” yang  berkonsekuensi  dilakukannya  undian  atau  dengan menggunakan  “tabel   random”  dalam  rangka  penarikan samplingnya. Penarikan ukuran sampel (sampling size) dilakukan berdasarkan penerapan rumus tertentu yang melahirkan  jumlah responden yang dapat “mewakili” populasi. Populasi ini terlebih dahulu harus dijadikan “kerangka sampling” (sampling  frame);
yaitu setiap anggota populasi harus terlebih dahulu mendapatkan nomor urut dari 1, 2, 3, ..., n. Dengan demikian manakala kelak  mereka itu diundi secara acak, maka kesempatan untuk menjadi terpilih  (probability) sebagai anggota sampel (d.h.i. responden) akan sama besar.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan demikian berarti  bahwa waktu penelitian menurut metode kuantitatif itu bisa dilakukan dengan cepat, manakala objek penelitiannya adalah manusia? Manusia yang “mobile” atau dinamis dan manusia yang tersebar di sana sini? Itulah problemanya yang jarang diutarakan dalam mencoba menimbang untung rugi dari penerapan metode kuantitatif dan kualitatif  itu.
Hasil berpikir dengan keras dan intens serta mengerahkan segenap potensinya, manusia telah menghasilkan berbagai temuan (discovery and  invention). Pengerahan pancaindera bahkan pancaindera plus tersebut,  sebagian mewujud dan mengkristal dalam temuan yang memperkaya teori dan ilmu.
Kendati manusia itu berupaya dengan sungguh-sungguh dengan  menggunakan metode yang tepat, namun sebagian masalah akan tetap  takterjawab, tetap takterjangkau, tetap takdiketahui, tetap takterungkap. Artinya sebagian besar bahkan tetap tinggal sebagai misteri (left unknown),  takberjawab, takbisa terjawab dan sangat  tidak mungkin untuk mendapat  jawaban, taktergapai dan tidak diperoleh jawaban, tidak memperoleh jawaban, tidak akan ada jawaban yang pasti dan benar-benar tuntas.  Semuanya diserahkan kepada pemilik ilmu, yaitu  Al Khaaliq. Secara  bahasa  daerahnya, dia tetap “gramyang”,  tetap berada dalam wilayah kelabu atau samar-samar (vague).

E. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1.         Metode Ilmiah, penggabungan antara pendekatan rasional dan pendekatan empiris melalui langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Memiliki dua syarat, yaitu : (1) Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya suatu kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. (2) Harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung dengan pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-verifikatif pada dasrnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut : (a) Perumusan masalah, (b) Penyusunan kerangka berpikir, (c) Perumusan hipotesis, (d) Pengujian hipotesis, (e) Penarikan kesimpulan.
2.         Metodologi merupakan suatu cara atau jalan untuk mendekati, menghampiri, mencari, meneliti, menemukan dan akhirnya memahami sesuatu. Metodologi  adalah  ilmu  tentang  cara  mendekati dan meneliti sesuatu dengan benar. Menurut para ahli, metodologi itu dapat  diibaratkan sebagai bahasa universal (universal language) untuk menghampiri, mendekati dan meneliti sesuatu  objek (melalui: approach, study, inquiry,  probe, survey, search, research), sehingga semua pakar dapat turut serta membahas suatu: kajian, penelusuran, survei atau penelitian tersebut berdasarkan norma-norma yang telah disepakati bersama.
3.      Hakikat dari metode kuantitatif  pada  prinsipnya  bertautan  dengan  sifat  hakikat substansi  dari  bidang  ilmu-ilmu  alam yang berkenaan dengan benda-benda fisik. Manusia dapat “memanipulasi” benda-benda fisis ini (misalnya diisolasi atau direaksikan satu sama lain), karena benda-benda fisis itu takbernyawa/takberjiwa dan karena itu pula tidak mempunyai keinginan otonom. Hal ini berbeda dengan  metode kualitatif yang objeknya  ilmu-ilmu sosial yang terdiri dari manusia yang mempunyai jiwa (soul; spirit); keinginan (will) dan perilaku yang dapat berubah-ubah (kaleidoscopic). Manusia itu pada prinsipnya otonom, dan karenanya  sikap dan perilakunya hampir tidak dapat diprediksi secara penuh (oleh karenanya ilmu-ilmu  sosial  dapat  disebut  pula  sebagai  ilmu-ilmu  perilaku  atau “behavioral  sciences” atau menurut filsuf John Stuart Mill  (1806-1873)  adalah  “moral  sciences” dan di Jerman  digunakan  istilah: “Geisteswissenschaften” ).




Daftar Rujukan/ Pustaka

Anonim. Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta, 1985
Bambang Sugono. Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974
Lois O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989
Rusadi Kantaprawira. Filsafat dan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, AIPI, Bandung, 2009
Sidi Ghazalba. Sistematika Filsafat Buku II, Bulan Bintang, Jakarta,1981
Toety Herati Noerhadi, “Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-ilmu Sosial” dalam A.E. Priyono dan Asmar Oemar Saleh (Eds.), Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, dengan Kata Pengantar M. Amien Rais, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat  (PLP2M), Yogyakarta, 1984







[1] Sidi Ghazalba. Sistematika Filsafat Buku II, Bulan Bintang, Jakarta,1981, hlm 177
[2] Lois O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hlm 178
[3] Ibid, hlm 180
[4] Peter Schwartz, The Art of the Long View: Scenario Planning Protecting your Company Against an Uncertain Future, Century Business, London, 1991, pp. 31-46
[5] Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1974, hlm 37
[6] Anonim. Filsafat Ilmu, Universitas Terbuka, Jakarta, 1985, hlm 1
[7] Ibid, hlm 29
[8] Toety Herati Noerhadi, “Analisa dan Pemahaman dalam Metodologi Ilmu-ilmu Sosial” dalam A.E. Priyono dan Asmar Oemar Saleh (Eds.), Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, dengan Kata Pengantar M. Amien Rais, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat  (PLP2M), Yogyakarta, 1984, hlm 53

1 komentar:

abijahjada mengatakan...

The casino offers 100% Deposit Bonus up to $150
If you deposit $10 or more into your account, you 충청북도 출장마사지 can receive a 강릉 출장마사지 100% deposit 울산광역 출장마사지 bonus up to $150. The $150 bonus 포항 출장샵 is a promotion that includes free spins. 안성 출장안마